UNGKAPAN HATI SEORANG IBU
Sahabat, betapa besarnya pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, mulai dalam kandungan sampai menginjak masa dewasa dan berkeluarga. jika diungkapkan, apa yang ibu kita hendak ungkapkan? iseng-iseng nyari artikel tentang ibu, ternyata sungguh luar biasa pengorbananya. berikut adalah Ungkapan Hati Seorang Ibu.
Anakku...
"Bagaimana kabarmu, apakah
kamu baik-baik saja? Di rumah, ibumu juga sehat. Sekarang ini aku
sedang memandangi cermin dan fotomu. Tiba-tiba aku menjadi sadar
bahwa aku sudah mulai tua. Kerut merut di wajahku sudah semakin
banyak dan aku tidak cekatan lagi seperti dulu. Aku sering iri padamu
yang selalu ceria, riang, aktif dan penuh dinamika. Akupun pernah
mengalami seperti itu dulu.
Anakku...
Ketika menikah
dengan ayahmu, aku tidak pernah membayangkan akan mempunyai anak
seperti kamu. Sungguh, aku bangga padamu. Setelah engkau besar kini,
aku baru sadar betapa kecilnya aku ini, betapa tidak berartinya aku.
Engkau lahir dan tumbuh semata-mata karena mukjizat dan rahmat Tuhan
belaka.
Tak kuingkari memang akulah yang mengandungmu selama
sembilan bulan. Saat itu aku selalu gelisah menanti kelahiranmu. Aku
selalu menjaga diriku agar bayi di perutku, yaitu kamu, sehat. Dengan
susah payah dan sakit kulahirkan engkau. Aku termasuk beruntung
karena tidak harus meninggal untuk melahirkanmu. Aku sampai
menitikkan air mata bahagia saat mendengar tangis pertamamu yang
lucu.
Engkau ini darah dan dagingku sendiri; engkau tumbuh
dari bagian tubuhku namun engkau lahir keluar sebagai manusia yang
baru sama sekali. Dalam beberapa hal kamu memang mirip aku tetapi
selebihnya engkau sungguh baru.
Sejak kecil kurawat engkau
dengan sangat hati-hati dan penuh kasih; engkau lebih kuperhatikan
dari pada apapun yang pernah kumiliki. Kusuapi dan kususui engkau
dengan air yang mengalir dari dadaku sendiri. Bila engkau menangis
kugendong dan kuhibur. Kuberi engkau pakaian dan sepatu dan topi yang
cocok untukmu. Tak lupa kubelikan juga mainan yang kau gemari;
mobil-mobilan atau boneka-boneka yang lucu. Engkau masih ingat masa
kecilmu, kan?
Setiap pagi dan sore kumandikan engkau. Bila kau
ngompol atau e’ek di celana atau di popok, dengan sabar kubersihkan
dan kuganti dengan yang baru.
Paling sedihlah aku, bila kamu
sakit. Memang engkau waktu itu hanya makhluk kecil yang tidak
berdaya, yang bisa saja kubuang ke kotak sampah atau ke selokan kalau
aku mau. Tapi aku cinta padamu, engkau bagian dari hidupku sendiri.
Maka kurawat engkau sungguh-sungguh, kubawa engkau ke dokter,
kuusahakan agar kau mendapat vaksinasi dan makanan
bergizi.
Anakku...
Pada waktu masih kecil dulu, kamu
sering rewel, ngambeg bila tidak diberi uang jajan, atau sulit bila
disuruh mandi. Kau ingat betapa manjanya kamu. Setiap kali kau lari
ke pangkuanku bila engkau bertengkar dengan kakakmu, bila dimarahi
ayah, atau bila dinakali teman-temanmu. Aku menjadi saksi untuk masa
kecilmu yang manja, sehingga aku tak sempat lagi mengurus diri atau
pergi sesuka hati.
Kini engkau sudah dewasa...
Aku
bangga padamu, engkau harapanku. Namun aku sering sedih melihat
kelakuanmu; kala engkau bermalas-malasan untuk bangun, kala bermain
seharian tak tahu waktu. Hampir-hampir aku menangis bila kuingat
betapa sulitnya menyuruhmu belajar, mengerjakan PR, atau
mengingatkanmu untuk tidak membolos. Sepertinya kau tidak tahu bahwa
ini semua demi kamu sendiri. Sungguh aku tidak bermaksud mau
menyengsarakanmu dengan aturan-aturanku. Aku ingin engkau bahagia,
bisa hidup pantas di tengah-tengah dunia yang penuh dengan persaingan
ini. Kamu harus pandai supaya tidak mati tertelan jamanmu
nanti.
Anakku...
Betapa sedihnya aku, ketika aku kau
tuduh orang tua kolot, orang tua yang tidak mengikuti jaman, atau
orang tua kampungan. Aku ingin dipahami bahwa kalau kusuruh kau
bergaul tidak sembarangan, berpakaian yang pantas dan mau menghargai
orang lain, adalah sungguh-sungguh supaya kamu menjadi manusia yang
bermoral, bukan begajulan yang menghancurkan hidupnya dengan mau
hidup sebebas-bebasnya.
Kau lihat betapa banyak teman sebayamu
yang sudah harus berhenti sekolah untuk mengasuh anak, betapa banyak
teman seusiamu jatuh pada obat bius dan pornografi. Anakku, aku tahu
engkaupun tidak ingin menjadi seperti itu.
Sungguh kalau aku
keras dalam hal ini karena aku tahu betapa halusnya bujukan setan dan
betapa beratnya hidup yang tidak tegas terhadap yang jahat. Aku ingin
kau pun memahami itu. Hatiku akan hancur bila sikapmu selalu melawan
aku, bila kau selalu menganggap dirimu benar sendiri.
Setiap
malam aku berdoa untukmu, tak sekejap pun engkau hilang dari hidupku.
Bila aku sedang memasak di dapur, yang kubayangkan adalah kepuasan
makanmu dan juga kesehatan tubuhmu. Bila aku ikut membantu bekerja,
yang kuinginkan engkau tidak terhambat karena biaya. Bila kubenahi
kamarmu yang selalu berantakan yang kuinginkan agar kau krasan di
rumah. Bila kubelikan kau baju-baju yang modis, aku ingin kau tidak
malu pada teman-temanmu. Dan bila aku merawat kesehatan tubuhku
sendiri, aku hanya ingin agar aku dapat lebih lama lagi mendampingi
dan menyerahkan hidup kepadamu.
Sekarang ini kamu sudah
dewasa, banyak hal sudah dapat kau lakukan sendiri. Lambat laun akan
terasa bahwa hidupmu memang menjadi tanggung jawabmu sendiri; tidak
ada seorangpun yang dapat menggantikannya termasuk ibumu ini. Mohon
jangan kecewakan aku dengan sikap keras kepalamu yang
kekanak-kanakkan itu. Aku tidak cemburu kalau kamu sekarang sudah
melebihi aku dalam segalanya. Aku malah bangga karena Tuhan sudah
berkenan membiarkan aku ikut menyaksikan pembentukkan hidupmu.
Seperti sebatang lilin, hidupku sudah meleleh habis… dan sebentar
lagi pasti akan padam… untuk menerangi hidupmu, anakku. Kini engkau
sendiri sudah mulai menyala, lebih terang dari yang
kupunya.
Anakku...
Kalau engkau memang sulit menerima
aku yang sering rewel, kolot atau lamban ini, aku mohon paling tidak
kamu mau menghormati ayahmu. Sepanjang hari setiap hari selama
bertahun-tahun dia bekerja keras untukmu, hingga tubuhnya lemah,
hingga kulitnya kerut merut tertimpa banyak penderitaan. Cintanya
padamu membuatnya tidak malu untuk bekerja di tempat-tempat yang
kotor, membuatnya tahan duduk berjam-jam menangani tugas-tugas yang
membosankan, dan membuatnya setia menjagai kita semua.Dia juga hanya
ingin agar kita ini berbahagia.
Anakku...
Jangan
sia-siakan cintanya. Jarang sekali dia mengeluh kala menghadapi
beratnya beban kehidupan, tugas-tugas berat dan tuntutan
anak-anaknya. Di hadapan kita, dia selalu tersenyum dan tertawa
gembira. Kadang-kadang aku merasa kasihan kepadanya kalau dia tidak
bisa pulang seharian, kalau tubuhnya yang sudah kecapaian itu harus
dipaksa untuk bekerja lagi. Saya sendiri sering merasa bersalah
karena rasanya hanya memperlakukan ayah seperti kuda beban atau sapi
perahan. Kita bisa beli ini itu, bisa pergi ke sana kemari atau
bermain-main dengan santai di rumah, sementara itu dia hanya puas
dengan secangkir kopi dan baju yang itu itu saja, dia juga tidak
mempunyai banyak waktu untuk bersantai-santai seperti kita. Sungguh
anakku, aku mohon hormatilah ayahmu.
Akhirnya...
Sebagai
orang tuamu aku minta maaf kalau selama ini aku kadang-kadang egois,
menuntut terlalu berlebihan, kolot dan keras terhadapmu. Maafkan aku
bila aku kurang mengerti kebutuhan-kebutuhan dan dunia mudamu. Kadang
aku masih menganggapmu seperti anak-anak yang harus kuatur segalanya
agar tidak keliru. Maafkan aku anakku, yang membuat banyak kesalahan
atau malah menyengsarakanmu, yang tidak dapat mencintai dengan cara
yang cocok dengan keinginanmu. Kata maaf darimu adalah hadiah yang
paling kutunggu.
Anakku...
Aku msudah kangen kau. Ingin
rasanya kubisikkan aku sayang kamu. Hanya peluk ciumku
untukmu.
IBU-MU
Semoga bermanfaat, semoga ibu kita selalu dalam Lindungan-Nya, diberi kehatan jasmani, rohani.
Dikutip dari
Ruang Hati (Karyanto Boris)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar